“Kenapa kamu coret-coret dinding itu?” kata bapakku dengan
berang
“Sekarang lap sampai
bersih ya. pakai mukamu saja” lanjut bapak dengan nada emosi tingkat tinggi.
Masih jelas diingatanku waktu itu aku masih kelas 1 SD kami
pindah dan menempati rumah baru. Rumah setengah beton dengan berdinding papan.
Papan asli tanpa di cat. Aku yang masih baru mengenal huruf pada waktu itu
membawa potongan-potongan kapur tulis dari sekolah. Dan karena semangat yang
sedang membara untuk menulis, maka aku menulis huruf-huruf dan angka-angka di
dinding papan rumah baru kami. Alhasil, di sore hari ketika bapak dan ibuku
pulang dari ladang, bapakku berang melihat karyaku di dinding papan itu. Dan
betul saja, aku disuruh menghapus tulisan kapur putih itu dengan mukaku. Karena
takut aku terpaksa melakukannya. Setelah itu aku merajuk tentunya. Tapi bapakku
tidak bergeming.
Di lain waktu, ketika sedang panen durian di kebun kami
yang di sebelah rumah, adikku memanjat pohon durian itu dan mengambil buah yang
kira-kira sudah setengah matang. Tak dinyana, tak disangka adikku yang
perempuan nomor dua yang berada di bawah pohon durian ketimpa durian yang
dipetik adik lak-lakiku yang di atas pohon. Sudah pasti cap kulit durian
menempel di kepalanya dan sedikit memar berdarah. Untung saja pohonnya tidak
terlalu tinggi.
Adik laki-lakiku pasti akan mendapat hukuman dari bapak atas
keteledorannya. Tidak tanggung-tanggung, sepulang bapak dari ladang mendapat
laporan bahwa adik kami yang kecil ditimpa buah durian, bapak langsung berang
kepada adik laki-lakiku. Bapak lalu mencari sarang semut lengkap dengan
semutnya. Sarang semut ini tidak sulit mendapatkannya di sekitar rumah kami
waktu itu. Lalu adikku yang laki-laki ini dibawa ke kebun di belakang rumah,
disuruh buka baju, disuruh jongkok dan tidak boleh melawan. Bapakku mulai
menaruh sarang semut diatas kepalanya sambil menggoyang-goyangkan sarang semut.
Otomatis semut-semut merah itu keluar dari sarangnya dan mengerumuni badan
adikku. Aksi itu baru berhenti kalau sudah nangis dan minta ampun. Kejam ya? ya, begitulah beberapa cara bapakku memberi
pelajaran kepada kami.
Dari balik wajahnya yang kalem, tapi bapak luar biasa tegas. Bapak juga tidak pernah diperbolehkan keluar malam kendati malam minggu. Mulai dari
kami kecil sampai remaja. Jika teman-teman sebaya kami malam minggu suka
berkumpul-kumpul dengan teman seumuran bermain gaplek atau sekedar
ngobrol-ngobrol di bawah cahaya bulan, kami harus masuk rumah begitu matahari
terbenam. Jika masih di luar rumah, tidak segan-segan bapak mengunci pintu dari
dalam dan beliau masuk kamar dan tidak keluar lagi. Ibuku kadang membukakan
pintu kadang juga dilarang sama bapak. Yang ada kami masuk rumah melompat dari
jendela, atau menginap di rumah adik bapak
yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah kami.
Itu adalah sekelumit kenanganku waktu kecil. Tapi kendati begitu tegas bapak mendidik kami waktu kecil,
kami bersyukur karena kami anak – anaknya menjadi
mandiri, bisa membawakan diri di perantauan dan tidak memalukan keluarga. Bahkan
bapak boleh bangga di kampung karena anak-anaknya boleh dibilang sukses di
perantauan :)
Bapak saat mengantarku ke pelaminan |
4 comments:
Padahal kapur putih itu panas kalau dikulit ya, Mba.
Semoga menang ya, Mba. :)
selalu mempunyai kenangan manis bersama papa ya mbak
Huaaa...
Serem sekali ya,....
Tapi semua memang punya tujuan ya...
bapak memang tegas biasanya ya mb tapi maksud dan niatnya pasti baik. Good luck ya mba untuk GAnya
Post a Comment